Perawatan prefentif(
pengertian dan sistemnya)
Pengertian perawatan maintenance sebagai
konsepsi dari semua aktivitas yang diperlukan untuk menjaga atau mempertahankan
kualitas fasilitas/mesin agar dapat berfungsi dengan baik seperti kondisi
awalnya (Ansori dan Mustajib, 2013).
Dari pengertian diatas dapat
ditarik beberapa kesimpulan, bahwa:
• Fungsi perawatan sangat
berhubungan erat dengan proses produksi. •
Aktivitas perawatan banyak berhubungan erat dengan pemakaian peralatan, bahan
pekerjaan, cara penanganan dan lain-lain. Perawatan dilakukan untuk perbaikan
yang bersifat kualitas, meningkatkan suatu kondisi lain yang lebih baik.
Banyaknya pekerjaan perawatan yang dilakukan tergantung pada :
• Batas kualitas terendah yang
diizinkan dari suatu komponen sedangkan batas kualitas yang lebih tinggi dapat
dicapai dari hasil perawatan mesin.
• Waktu pemakaian mesin yang
berlebihan yang dapat menyebabkan berkurangnya kualitas peralatan.
1.
Mengatasi segala permasalahan, yang berkenaan dengan kontinuitas aktivitas
kerja. Tujuan dilakukannya kegiatan perawatan (maintenance) adalah
sebagai berikut (Kurniawan, 2013) : 2. Memperpanjang umur
pengoprasian peralatan dan fasilitas industri. 3.
Meminimasi Downtime, yaitu waktu selama proses produksi terhenti (waktu
menunggu) yang dapat menggangu kontinuitas proses. 4.
Meningkatkan efisiensi suber daya produksi. 5.
Peningkatan profesionalisme personil departemen perawatan industri. 6.
Meningkatkan nilai tambah produk, sehingga perusahaan dapat bersaing di pasar
global. 7. Membantu para pengamil keputusan,
sehingga dapat memilih solusi optimal terhadap kebijakan perawatan fasilitas
industri. 8. Melakukan perencanaan terhadap
perawatan preventif, sehingga memudahkan dalam proses pengontrolan aktivitas
perawatan. 9. Mereduksi biaya perbaikan dan
biaya yang timbul dari terhentinya proses karena permasalahan keandalan mesin.
Pemahaman Istilah Perawatan
Pelaksanaan
perawatan industri, membutuhkan komunikasi yang jelas diantara konseptor dengan
pelaksana perawatan. Terdapat beberapa istilah perawatan, yang seringkali kita
dengar, dan perlu kiranya dipahami secara detail, antara lain (Kurniawan, 2013)
:
1. Inspection (Inspeksi)
Inspeksi adalah
aktivitas pengecekan untuk mengetahui keberadaan atau kondisi dari fasilitas produksi.
Inspeksi biasanya berupa aktivitas yang membutuhkan panca indra dan analisis
yang kuat dari setiap pelaksanaan, bahkan ada pula yang melakukannya dengan
menggunakan alat bantu, sehingga kesimpulan yang dihasilkan dapat lebih
mendekati kondisi nyata (akurat).
2. Repair (perbaikan)
Repair adalah aktivitas yang dilakukan untuk mengembalikan
kondisi mesin yang mengalami gangguan tersebut, sehingga dapat beroprasi
seperti sebelum terjadi gangguan tersebut, dimana prosesnya hanya dilakukan
untuk perbaikan yang sifatnya kecil. Biasanya Repair tidak terlalu
banyak menggangu kontinuitas proses produksi.
3. Overhaul (perbaikan
menyeluruh)
Adalah aktivitas meneluruh. Aktivitas ini
memiliki makna yang sama dengan Repair, hanya saja ruang lingkupnya lebih
besar. Perawatan ini dilakukan apabaila kondisi mesin berada dalam keadaan
rusak parah, 6 sementara kemampuan untuk menggati dengan yang baru tidak ada. Overhaul
biasanya dapat mengganggu kegiatan produksi dan membutuhkan biaya yang
besar.
4. Replacement (penggatian)
Adalah aktivitas penggantian mesin.
Biasanya mesin memiliki mkondisi yang lebih baik akan menggantikan mesin
sebelumnya. Replacement dilakukan jika kondisi alat sudah tidak
memungkinkan lagi untuk beroprasi, atau sudah melewati umur ekonomis
penggunaan. Replacement membutuhkan investasi yang besar bagi
perusahaan, sehingga alternatif ini biasanya menjadi pilihan terakhir setelah repair
dan overhaul.
Total Productive Maintenance
Total Productive Maintanance (TPM)
adalah suatu konsep program tentang pemeliharaan yang melibatkan seluruh
pekerja malalui aktivitas grub kecil (Nakajima,1988). Lebih lanjut Roberts
dalam Ansori dan Mustajid (2013) mengatakan bahwa TPM adalah suatu program
pemeliharaan yang melibatkan suatu gambaran konsep pemelihaan untuk
pemeliharaan peralatan dan pabrik deangan tujuan untuk meningkatkan
produktivitas serta pada waktu yang sama dapat meningkatkan kepuasan kerja dan
moril karyawan. Total Productive Mantenance (TPM) adalah suatu metode
yang bertujan untuk memaksimalkan efisiensi penggunaan peralatan, dan
memantapkan sistem perawatan preventif yang dirancang untuk keseluruhan
peralatan dengan mengimplementasikan suatu aturan dan memberikan motivasi
kebada seluruh bagian yang berada dalam suatu perusahaan tersebut, melalui
peningkatan dari seluruh anggota yang terlibat melai dari manajemen puncak
sampai kepada level terendah (Kurniawan, 2013).
Ada pencapaian tujuan
TPM menurut Nakajima (1988) dalam Ansori dan Mustajib (2013) dilakukan melalui:
• Perbaikan effektivitas perlengkapan :
dimana pekerja mampu memahami dan memeriksa efektivitas dari fasilitas melalui
identifikasi dan pemeriksaan
7 semua
kerugian-kerugian yang mungkin terjadi, seperti akibat kerugian downtime,
kerugian karena peralatan tidak beroprasi pada keadaan optimal dan kerugian
akibat cacat.
• Pencapaian pemeliharaan individu :
memungkinkan pekerja yang mengoprasikan suatu peralatan untuk bertanggung jawab
atas beberapa tugas pemeliharaan, seperti : tugas reparasi, tugas pencegahan,
dan tugas perbaikan keseluruhan.
• Perencanaan pemeliharaan : pendekatan
sistematik terhadap semua kegiatan pemelihaan. Perencanaan ini melibatkan
identifikasi keadaan dan tingkat pelaksanaan preventive maintenance yang
diperlukan untuk tiap perlengkapan, membuat standar kkondisi untuk pemeliharaa,
menentukan tanggung jawab untuk masing-masing staf operasi dan staf
pemeliharaan sehingga peran masing-masing staf operasi dan staf pemeliharaan
terjadi lebih jelas.
• Melatih semua staf dengan keahlian
pemeliharaan yang memedai dan sesuai. Tanggung jawab yang telah dibebankan
kepada staf operasi dan staf pemelihaan masing-masing memerlukan pemeliharaan
yang sesuai untuk melaksanakannya, untuk itu TPM memberi penekanan terhadap
pelatihan yang tepat dan terus menerus
• Mencapai secepat-cepatnya “zero
maintenance” melalui maintenance prevention (MP). Maintenance
prevention mengikut sertakan pertimbangan sebab-sebab kegagalan dan kemampuan
pemeliharaan selama tahap disain, tahap manufaktur, tahap pemasangan termasuk
tahap penyimpanannya. Sebagai bagian dari suatu proses secara keseluruhan, TPM
mencoba melacak masalah pemeliharaan yang ptensial timbul untuk dikembalikan ke
akar permasalahan, sehingga masalah tersebut dapat dihilangkan pada titik
penyebab awal permasalahan.TPM mempunyai dasar–dasar atau elemen-elemen dalam
pengimplementasiannya. Bila digambarkan sebuah bangunan, TPM terdiri
dari 8 pilar yang terdiri dari Autonomous Maintenance, Focused Maintenance,
Planed Maintenance, Quality Maintenance, Education & Training, HSE (Health,
Safety & Environment), Office TPM dan Development Management.
Semua elemen menuntut keterlibatan individu menuju keberhasilan TPM. Hal
penting yang mendasar lainnya adalah pondasi paling bawah dari semua elemen adalah
5S. dimana tiap individu harus paham standar dan melakukannya dalam kegiatan
sehari-hari. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 2.1 8 Pilar
Total Productive Maintenance
Hal penting yang
mendasari pondasi paling bawah dari semua elemen adalah 5S. Menurut Nakajima
dalam Ansori dan Mustajib (2013) 5S antara lain yaitu :9
•
1. Seiri, yang
berarti ringkas 2. Seiton, yang berarti rapi 3. Seiso, yang berarti bersih
•
4. Seiketsu yang
berarti rawat
•
5. Shitsuke, yang
berarti rajin
Kegiatan
memisah-memisahkan segala sesuatu yang benar-benar diperlukan dan kemudian
menyingkirkan yang tidak diperlukan dari tempat kerja.
Merupakan penetapan
tata letak peralatan dan perlengkapan sehingga segalanya selalu siap pada saat
diperlukan
Memeriksa secara
hati-hati untuk kemudian menyingkirkan segala sesuatu yang tidak semestinya di
tempat kerja sehingga kondisi tempat kerja sehingga kondisi tempat kerja selalu
dalam keadaan bersih.
Memepertahankan
hasil-hasil yang telah dicapai pada 3-s sebelumnya dengan membakukannya
(standarisasi) dalam suatu pengendalian.
Membina disiplin atau
kebiasaan pribadi karyawan
Pengertian 8 pilar Total
Productive Maintenance (Ansori dan Mustajib, 2013) sebagai berikut :
1. Autonomus
maintenance
Pemeliharaan otonomi
merupakan kegiatan yang dirancang untuk melibatakan operator dengan sasaran
utama untuk mengembangkan pola hubungan antara manusia, mesin, dan tempat kerja
yang bermutu. Pemeliharaan otonomi dirancang untuk melibatkan operator dalam merawat
mesin sendiri. Kegiatan tersebut meliputi pembersihan, pelumasan, pengencangan
mur/baut, pengecekan harian, pendeteksian penyimpangan dan reparasi sederhana.
2. Kaizen
Kaizen adalah perbaikan kecil (small improvements),
tetapi dilaksanakan pada suatu basis berkesinambungan dan melibatkan semua
orang didalam organisasi dengan tujuan untuk kepuasan pelanggan.
3. Planned
maintenance (Pemeliharaan Terencana)
Planned
maintenance adalah pemeliharaan yang
diorganisasi dan dilakukan dengan pemikiran jauh ke depan, yang menyangkut juga
masalah pengendalian dan pencatatan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan
yang diharapkan dapat menjamin ketelitian peralatan produksi, sehingga tujuan
yang diinginkan dapat dicapai
4. Quality
Maintenance (Pemeliharaan Berkualitas)
Aktivitas quality
maintenance ditujukan untuk merencanakan sistem pemeliharaan yang
menyediakan produk berkualitas tinggi dan bebas dari cacat. Nilai-nilai yang
didapatkan dari quality maintenance adalah dapat mereamalkan beberbagai
kemungkinan cacat yang terjadi dan selanjutnya memperbaiki untuk mencegah
kemungkinan tersebut. Target yang ingin dicapai dalam quality maintenance ini
adalah mengurangi keluhan konsumen, mengurangi kerusakan proses, dan mengurangi
biaya kualitas.
5. Early equipment
management
Early Equipment
Management merupakan pilar TPM yang
menggunakan kumpulan pengalaman dari kegiatan perbaikan dan perawatan
sebelumnya untuk memastikan mesin baru dapat mencapai kinerja yang optimal.
Tujuan dari pilar ini adalah agar mesin atau peralatan produksi baru dapat
mencapai kinerja yang optimal pada waktu yang sesingkat-singkatnya.
6. Training (Pelatihan)
Komponen ini
mendukung semua komponen TPM lain dengan memastikan bahwa pegawai memiliki
pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas terkait TPM.
Selain itu diarahkan untuk mempunyai karyawan dengan berbagai kemampuan dan
memiliki moral yang tinggi, yang mempunyai semangat untuk dating bekerja dan
melaksanakan semua fungsi yang diperlukan secara efektif.
7. Safety, Health,
and Environment
Keamanan, kesehatan,
dan keselamayan kerja merupakan salah satu komponen dari TPM. Target yang ingin
dicapai dalam elemen ini adalah : zero accident, zero health damage,
dan zero fires.
8. Office TPM
(Kantor TPM)
Komponen ini
dilakukan setelah menjalankan empat komponen TPM yang lain (Autonomous
Maintenance, Kaizen, Planned Maintenance, Quality
Maintenance). Pada dasarnya kantor TPM dilakukan guna meningkatkan
produktivitas dan efisiensi didalam kegiatan administratif yag berfungsi
mengidentifikasi dan menghapuskan kerugian untuk mendukung kegiatan operasi
manufaktur.
2.3 Overall
Equipment Effectiveness (OEE)
Overall Equipment
Effectiveness (OEE) merupakan metode
yang digunakan sebagi alat ukur (metrik) dalam penerapan program TPM guna
menjaga peralatan pada kondisi ideal dengan menghapuskan Six Big Losses pelaratan.
Selain itu, untuk mengukur kinerja dari sutu sistem produktif. Kemampuan mengidentifikasi
secara jelas akar permasalahan dan factor penyebab sehingga membuat usaha
pebaikan menjadi terfokus merupakan factor utama metode ini diaplikasikan
secara menyeluruh oleh perusahaan dunia (Ansori dan Mustajib, 2013).
Menurut Nakajima
(1988) dalam Rinawati (2014), OEE merupakan nilai yang dinyatakan sebagai rasio
antara output aktual dibagi output maksimum dari peralatan pada kondisi kinerja
yang terbaik. Tujuan dari OEE adalah sebagai alat ukur performa dari suatu
sistem maintenance, dengan menggunakan metode ini maka dapat diketahui
ketersediaan mesin/peralatan (availability), efisiensi produksi (performance),
dan kualitas output mesin/peralatan. Untuk itu hubungan antara ketiga elemen
produktifitas tersebut dapat dilihat pada rumus dibawah ini.

Availability merupakan ketersediaan mesin/peralatan merupakan
perbandingan antara waktu operasi (operation time) terhadap waktu
persiapan (loading time) dari suatu mesin/peralatan. Maka availibility
dapat dihitung sebagai berikut.
Performance adalah tolak ukur dari efisiensi suatu kinerja mesin
menjalankan proses produksi. Perfomance rate merupakan hasil perkalian
dari operating speed rate dengan net operating speed. Net
operating speed berguna untuk menghitung menurunnya kecepatan produksi.
Tiga faktor yang penting untuk menghitung peformance rate adalah ideal
cycle time (waktu siklus ideal/waktu standar), processed amount (Jumlah
produk yang diproses) dan operation time (waktu proses mesin). Maka performance
dapat dihitung sebagai berikut :
Quality rate adalah perbandingan jumlah produk yang baik terhadap
jumlah produk yang diproses. Jadi quality merupakan hasil perhitungan
dengan faktor processed amount dan defect amount. Formula ini sangat
membantu untuk mengungkapkan masalah kualitas proses produksi.
Hasil dari formulasi
tersebut berupa angka persentase yang menggambarkan tingkat efektifitas
penggunaan peralatan. Pada penerapannya angka ini akan berbeda – beda untuk
tiap perusahaan. OEE memiliki nilai minimal sebesar 85%, dengan komposisi
sebagai berikut (Nakajima, 1988) :
• Availability
rate > 90%
• Performance rate
> 95%
• Quality rate lebih
> 99 %
• OEE > 85 %
Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)
Failure Mode and
Effect Analysis merupakan suatu metode yang bertujuan untuk mengevaluasi disain
system dengan mempertimbangkan bermacam-macam jenis kegagalan dari system yang
terdiri dari komponen-komponen, menganalisa pengaruh-pengaruh terhadap
keandalan system dengan penelusuran pengaruh-pengaruh kegagalan komponen sesuai
dengan level item-item khusus dari system yang keritis dapat dinilai dan
tindakan yang diperlukan untuk memperbaiki disain dan mengeliminasi atau
mereduksi probabilitas dari metode-metode kegagalan yang kritis. Kimura (2002)
dalam Ansori dan Mustajib (2013)
Failure Mode and
Effect Analysis (FMEA) pertama kali digunakan pada tahun 1960 dalam bidang
penerbangan. Sejak saat itu penggunaan FMEA dierluas pada banyak sector
industri.
FMEAbertujuan
melakukan perbaikan dengan cara :
• Mengidetifikasi
model-model kegagalan pada komponen, peralatan, dan sistem.
• Menntukan akibat
yang potensial pada peralatan, system yang berhubungan pada setiap model
kegagalan.
• Membuat rekomendasi
untuk menambah keandalan komponen, peralatan dan sistem.
Terdapat empat
langkah utama dalam kinerja FMEA, sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi
sistem, fungsi-fungsi dan komponen-komponennya.
2. Mengidentifikasi
penyebab kerusakan komponen.
3. Mempelajari akibat
dari penyebab kerusakan komponen.
4. Kesimpulan dan
saran.
Pendefinisian Sistem, Fungsi, dan
Komponen
Menurut Ansori dan Mustajib (2013) Fungsi
merupakan hal pertama yang harus didefinisikan. Beragam system operasi harus
diidentifikasi. Informasi yang diperlukan pada tahap ini meliputi :
• Fungsi utama dari sistem.
• Keterbatasan fungsi yang utuh dalam system seperti
komponen.
• Spesifikasi
mengenai sistem operasi dan spesifikasi komponen menurut lingkungan sistem dan
komponen pada tempatnya.
Identifikasi Penyebab Kerusakan Komponen
Menurut Ansori dan
Mustajib (2013) langkah-langkah untuk menemukan penyebab kerusakan komponen
pada sistem diperlihatkan pada gambar 2.3 yang perlu kita perhatikan bahwa
penyebab kerusakan komponen digambarkan sebagai akibat yang harus diamati
terkait dengan kerusakannya.
Proses indentifikasi
kerusakan dapat dilakukan dapat dilakukan dengan melakukan pertimbangan
terhadap proses berupa :
• Jika komponen telah
digunakan dalam fasilitas, ada penelitian operasinya, sangat baik apabila
penelitian itu digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan.
• Jika berupa disain
komponen baru, komponen-komponen lain dengan persamaan desain dan fungsi dapat
dijadikan acuan untuk menganalisa kehandalan komponen yang digunakan.
-Analisa penelitaian
operasi
-Test kehandalan
-PrediksiAnalisa dari
keterkaiatan sitem
-Komponen Fungsi
-Potensi penyebab
kerusakan
-Penyebab Kerusakan
terdapat pada sistem
-Daftar pertama
penyebab kerusakan
-Penyebab kerusakan
internal dan eksternal
-Daftar akhir
penyebab kerusakan
Klasifikasi dasar
dari penyebab kegagalan yang digunakan terhadap fasilitas dapat disebabkan oleh
:
• Pengoperasian yang belum waktunya.
• Kesalahan pengoperasian pada saat memberi perintah.
• Kerusakan pada saat operasi berhenti.
• Kerusakan selama
operasi berjalan.
Identifikasi Akibat dari Penyebab Kerusakan
Komponen
Akibat dari tiap-tiap pennyebab kegagalan
dalam fungsi suatu sistem sepeti halnya dalam komponen dapat dipelajari secara
sistematis dan dapat diperkirakan. Akibat yang dijelaskan dapat diasumsikan
bahwa terdapat satu penyebab kesalahan dan komponen yang lain dapat beroperasi
secara normal. Denagn mempelajari akibat dari suatu sistem dapat diketahui
perbedaan dari akibat yang ain diluar sistem (Ansori dan Mustajb, 2013).
Pengambilan Keputusan
Setelah melakukan
seluruh langka diatas, Analisa akan menggambarkan kesimpulan dalam objek
penelitian. Dengan hasil yang ditunjukkan sebagai berikut (Ansori dan Mustajib,
2013):
• Seluruh gambaran penyebab kegagalan dan akibat yang
ditimbulkan dalam system operasi telah diperhitungkan dalam disain.
• Dapat mengidentifikasi satu kerusakan.
• Penyebab kegagalan diperhitungkan secara luas dari
akibat yang ditimbukan dalam fungsi sistem.
• Mengidentifikasi kerusakan kedua dan
kerusakan-kerusakan lainnya.
• Merancang prosedur
perawatan yang berhubungan antara tiap-tiap penyebab kegagalan.
Adapun tahapan dari
FMEA adalah sebagai berikut :
1. Menetapkan batasan proses yang akan dianalisa.
2. Melakukan pengamatan terhadap proses yang akan
dianalisa.
3. Hasil pengamatan digunakan untuk menemukan
kesalahan pada proses.
4. Mengidentifikasikan potential cause penyebab
dari kesalahan yang terjadi
5. Menetapkan nilai-nilai (dengan jalan brainstorming)
dalam poin:
• Keseriusan atau dampak akibat kesalahan terhadap
proses, lanjutan (severity)
• Frekuensi terjadinya kesalahan (occurance)
• Alat control akibat potential cause (detection)
6. Mendapatkan nilai RPN (Risk Potential Number) dengan
jalan mengalikan SOD (Severity, Occurance, Detection).
7. Memusatkan
perhatian pada nilai RPN yang tertinggi, segeralakukan perbaikan terhadap potential
cause dan efek yang diakibatkan.
▪ Severity
2.3.5 Menentukan Severity,
Occurance, Detection, dan RPN
Untuk menentukan
prioritas dari suatu bentuk kegagalan maka tim FMEA harus mendefinisikan
terlebih dahulu tentang severity, detection, serta hasil akhirnya yang
berupa risk priority number.
Severity yakni mengidentifikasikan dampak potensial yang
terburuk yang diakibatkan oleh suatu kegagalan. Dampak ini ditentukan
berdasarkan tingkat cedera yang dialami personel, tingkat kerusakan peralatan,
akibat pada produksi dan lama downtime yang terjadi dapat dilihat pada tabel
2.1.
Tabel 2.1
Tingkatan Severity Rangking
|
Akibat (Effect)
|
Kriteria verbal
|
Akibat pada produksi
|
1
|
Tidak ada akibat
|
Tidak mengakibatkan apa-apa (tidak ada akibat), penyesuaian
yang diperlukan
|
Proses berada dalam pengendalian
|
2
|
Akibat sangat ringan
|
Mesin tetap beroperasi dan aman, hanya terjadi
sangat sedikit gangguan peralatan yang tidak berarti. Akibat hanya dapat
diketahui oleh operator yang berpengalaman.
|
Proses berada dalam pengendalian, hanya membutuhkan
sedikit penyesuaian
|
3
|
Akibat ringan
|
Mesin tetap beroperasi dan aman, hanya sedikit
terjadigangguan. Akibat diketahui oleh rata-rata operator.
|
Proses telah berada diluar pengendalian, membutuhkan
beberapa penyesuaian.
|
4
|
Akibat minor
|
Mesin tetap beroperasi dan aman, namun terdapat
gangguan kecil,
|
Kurang dari 30 menit downtime atau tidak
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar